Hipoksemia paska bedah yang terjadi pada pasien sangat sulit didiagnosa atau dinilai secara
klinik. Terutama sionosis sukar diketahui dan tidak mungkin menilai
kuantitasnya.
Takhicardi sulit dipakai sebagai indikator dari hipoksia, irama
pernapasan yang dalam tidak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat
dan dangkal dapat mengakibatkan depresi pusat pernapasan oleh narkotik, dari
frekuensi tidak bisa sebagai jaminan untuk mengetahui hipoksemia pada masa
pembedahan, pengukuran
oksigen arteri dapat dipercaya untuk mengetahui keadaan dan nilai status
hipoksia.
Dengan menggunakan monitor pulse oksimeter untuk
mengetahui satrurasi oksigen sangat diutamakan penggunaannya terutama pada fase
awal paska bedah.
Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan
mungkin lebih tepat pemerriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa
tersebut sebagai gambaran klinik prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter
yang menetap. Standar analisa gas darah selama anestesi jangan dijadikan
patokan pada paska anestesi dan pemeriksaan gas darah sebainya dilakukan di
ruang pulih.
Dengan penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk
mengetahui hipoksemia secara dini.
Pulse oksimeter
adalah alat yang digunakan untuk mengukur kejenuhan HbO2 pada
pembuluh darah tepi secara elektro-fotometri.
Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari atau
daun telinga.
Prinsip dasar kerja alat ini adalah membandingkan
penyerapan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO2 dengan
Hb total (HbO2 + Hb).
Pada alat ini digunakan cahaya dengan dua panjang
gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2
dan Hb mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan cahaya dengan panjang
gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai selisih
penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua
molekul ini diketahui.
Pada pulseoksimeter penyerapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan
oleh dua unsur yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan pigmentasi) yang
merupakan komponen statis darah arterial yang berdenyut merupakan komponen pulsatil.
Rangkaian elektronik pada alat ini dirancang utnuk mampu
membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan cahaya yang
diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya
komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen
pulsatil pada kedua panjang gelombang cahaya diatas dibandignkan secara imperis
dengan pemriksaan SaO2 yang dilakukan secara invasif sehingga nilai
SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi.
Pulse oksimeter mempunyai keungulan karena mudah
digunakan, non invasive, respon cepat mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen
mulai dari sumbernya sampai jaringan dan tidak dipengaruhi oleh pigmentasi kulit selain
dari pada itu ia memiliki ketepatan yang cukup tinggi.
Kekurangannya adalah pengukuran yang tidak tepat apabila
perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut terukur, adanya gerakan
tubuh, adanya figmen dalam darah misalnya metelin biru dan bilirubin, kadar
met-Hb dan karbo Hb yang tingi : selain dari pada itu karena bentuk kurva
disosiasi oksigen maka perubahan PaO2 yagn besar hanya sedikit merubah SaO2 selama
PaO2 berada diatas 75 mmHg dan apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan
PaO2 yang besar, secara kasar dapat dipegang sebagai patokan pada SaO2 90% -
75% maka PaO2 »
SaO2 – 30.
Penggunaan pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan
anestesi apabila terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian
hipoksemia dapat ditegakkan secara dini, pada paska bedah sampai beberapa hari
setelah pembedahan.
Kriteria hipoksemia : saturasi
oksigen (SpO2) 86 –90% hipoksemia ringan, SpO2 81 – 85%
hipoksemia sedang, SpO2 < 81 hipoksemia berat.
a.
Hipoksemia pasca bedah
fase awal
Masalah pernapasan harus dilihat terlebih dahulu, guna
mencegah komplikasi yang serius, terutama pada keadan obesitas, pasien
dengan usia lanjut, perokok, dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Obesitas
Pasien dengan obesitas sering terjadi kesulitan selama
pembedahan dan paska bedah diperkirakan sulit mengatur jalan napas, begitu juga
dalam melakukan intubasi. Dihubungkan
dengan penyakit kardiovaskuler, hipoksemia kronis menyebabkan terjadinya
retriksi diafragma dan perubahan FRC (Fungsional Residual Capasiity) dan VC
(Vital Capasity) dan
hal tersebut bisa meningkat kejadiannya pada paska bedah penutupan jalan napas
dan sakit otot. Pada paska bedah dengan hipoksemia lebih sering terjadi pada
pasien obesitas.
Perawatan
pasien selama pemulihan sampai beberapa hari paska bedah perlu dianjurkan
secara terus menerus untuk memantau pasien, dengan memperhatikan jalan napas dan
pola pernapasan itu sendiri.
Perubahan
posisi berbaring ke posisi duduk tidak diperlukan untuk mengatur pergerakan diafragma
pada pasien dengan berat badan <
100 kg. Tetapi hendaknya dianjurkan bernapas secara teratur bila ada hipoksemia
ringan pada fase awal paska bedah dan perawatan yang intensif. Penggunaan morfin dan atropin yang terus menerus dapat menyebabkan
depresi napas dan kekeringan.
Umur
Meningkatnya usia cenderung mudah terjadi penutupan jalan
napas dan terjadi perubahan pada muskuloskeletal. PaO2 cenderung
menurun menjadi < 8,4 kPa pada usia 70 tahun, hal ini juga berhubungan dengan
adanya penyakit kardiovaskuler, oleh karena edema paru dan pneumoni. Terjadinya
apnea dan reaksi obat
opiat sulit diperkirakan.
Perokok
Terjadinya
komplikasi paska bedah terhadap paru pada pasien perokok cenderung meningkat.
Perubahan pada paru (jalan napas, penurunan volume, FRC) hal ini terlihat pada
psien perokok. Pada pra bedah dianjurkan untuk berhenti merokok guna
mengembalikan fungsi paru secara perlahan. Bronchorea sering terjadi dua sampai
tiga hari setelah dihentikan merokok sehingga batuk yang produktif dapat
diturunkan.
Penyakit Kardiopulmonal
Kecenderungan penyebab terjadinya infeksi paru pada paska
bedah berhubungan dengan obtruksi kronis jalan napas. Fisioterapi dan
bronhodilator bersama dengan obat mukolotik yang digunakan pada pra bedah dapat
menghasilkan keadaan yang optimum. Banyaknya
sekret pada pasien bronchitis kronis berhubungan dengan menyempitnya
jalan napas sehingga terjadi atelektasis. Tetapi dengan pengobatan
yang terus menerus akan dapat dikurangi terjadinya komplikasi. Penyakit
kardiopulmunum akibat skunder dari penyakit kronik seperti bronchitis, episema,
obesitas dan emboli dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia. Penyempitan
karenaparu akan meningkatkan tahanan vaskuler paru sehingga menurunkan
kemampuan terapi oksigen untuk menghindari sianosis dan juga pada penggunaan
ventilator. Vasodilator seperti nitroprusside dan netrogliserin serta diuretic
dapat digunakan apabila pasien diperkirakan adanya gagal jantung.
Pada bedah elektif apabila terdapat infeksi jalan napas hendaknya
ditunda terlebih dahulu, sebab dapat meningkatkan resiko paska bedah. Radang
faring dan laring akut akan meningkatkan sensitifitas sehingga cederung terjadi
spasme laring. Gangguan filtrasi nasal dan reflek jalan napas terhadap kotorran
yang masuk akan terganggu selama dilakukan pembersihan jalan napas, dan hal itu
juga bisa dikarenakan gangguan mokolitik juga bisa disebabkan dehidrasi, obat
atropin dan pengaruh penggunaan konsentrasi oksigen yang tinggi.
Infeksi
pernapasan yang kronis pada pra bedah perlu dilakukan pengobatan sehingga
mencapai kondisi yang optimal, dengan penggunaan antibiotik dapat menurunkan
morbiditas. Kehati-hatian penilaian tentang penilaian pra
bedah sangat penting. Secara umum meliputi PaO2 dimana lebih penting
dari epngingkatan nilai PaO2 terutama selama pembedahan torakotomi.
Gangguan fungsi paru akibat suatu penyakit, dapat merubah nilai yang dapat
digunakan dalam pengetesan fungsi paru.
Pada pasien yang mempunyai resiko, hendaknya pengukuran
fungsi paru harus selalu dilakukan seperti table 1 apabila dicurigai mempunyai
kelainan fungsi paru guna menghindari komplikasi paska bedah.
Table
1.1 Laboratory abnormalities that correlate with hign risk caused by pulmonary
dysfunction.
Fuction
|
Value
(nilai)
|
Maximum
voluntary ventilation (MVV)
Pa
CO2
Forced
expiratory volume (FEV1)
Forced
expiratory flow (FVC)
Forced
vital capacity (FVC)
ECG
Pa
O2
Maximum
expiratory flow rate (MEFR)
|
<
50% predicted or < 50 /1/min
.>
45 torr
<
0,5 L
25 – 75% < 0,66L
< 1 L
abnormal
<
55
< 100 L / min
|
b.
Hipoksemia pasca bedah
fase lanjut
Pada masa ini terjadinya hipoksemia suatu hal yang umum terjadi,
yang dapat disebabkan oleh
berbagai factor : mekanisme ventilasi abnormal, gangguan pertukaran gas dan
gangguan pusat pernapasan.
Mekanisme
Ventilasi Abnormal
Pada paska bedah mekanisme ventilasi abnormal sering
terjadi dan dapat menimbulkan hipoksemia yang ditandai dengan penurunan VC dan
FRC. FRC normal kembali pada minggu pertama sampai minggu kedua dan untuk VC
setelah minggu ke tiga paska bedah. Pembedahan
daerah abdormal dan dada, rasa sakit, cenderung menurunkan pergerakan dada.
Rasa sakit jikga tidak ditanggulangi akan menurunkan FRC, dan hal tersebut bisa
juga disebabkan oleh menyempitnya jalan napas serta pada pasuien yang tidak
bisa batuk dimana hal tersebut akan menyebabkan retensi sekret dan atelektasis.
Gangguan Mekanika Pertukaran Gas
Gangguan mekanika pertukaran gas pada fase lanjut paska
bedah sulit diketahui, sehingga hal ini akan menurunkan FRC.
Gangguan Pusat Penapasan
Pemberian narkotik
paska bedah untuk mengjhilangkan rasa sakit sering menimbulkan komplikasi,
depresi napas, seprti morfin dapat menimbulkan depresi napas melebihi 7 jam,
edangkan fentanil tidak, tetapi pernah dilaporkan dapt terjadi depresi setelah
pemberian intrevena hal ini disebabkan meningkatnya kadar obat dalam plasma
karena efek dari “Biphassic”, sehingga pemberian kedua utnuk fentanil
dapat menimbulkan respon terhadap pernapasan seperti hiperkarbia secara menetap
dan lama. Pemberian barkotik intratekal dan epidural bisa terjadi depresi napas
karena migrasi obat melalui cairan serebrospinalis, hal itu juga bisa meibulkan
kolap kardiovaskuler dan koma. Utnuk mengembalikan efek ini dapat diberikan
nalokson. Sehingga akhir-akhir ini paska bedah fase lanjut perlu diperhatikan
kemungkinan terjadinya hipoksemia.
Dengan adanya pulse oksimeter hal ini memungkinkan untuk
memonitor saturasi oksigen secara terus menerus selama 2 – 6 hari pada paska
bedah juga berukuran bidal volume, frekuensi napas dan analisa gas darah.
Umumnya serangan hipoksemia terjadi pada malam hari, dimana pasien sedang tidur
yangberkisar ± 40 detik. Serangan apneo bisa disebabkan secara sentral
atau karena sumbatan jalan napas, dan hal ini lebih sering terjadi. Sebaiknya
dilakukan kontrol pernapsan jika hal itu terjadi dan umumnya sering tidak
diketahui.
Nalokson sering diberikan bila terjadi depresi napas oleh
narkotik. Tetapi bisa menimbulkan depresi napas jika obat nerkotik yang telah
diebrikan mempunyai efek yang sama dengan nalokson.
Penatalaksanaan
Hipoksemia Paska Bedah
Terapi
Oksigen
Setelah
pengakhiran obat anestesi, oksigen harus diberikan 100% selama 10 menit, jika
oksigen yang diberikan kurang dari 100% cenderung bisa terjadi hipoksemia pada
fase awal paska bedah dan pemberian oksigen dilakukan secara terus menerus.
Selama pengiriman pasien dari kamar operasi ke ruang pulih dan juga berada
selama diruang pulih harus dilakukan monitoring saturasi utnuk mengetahui
adanya hipksemia. Cara epnggunaaan pulse oksimeter harus diketahui oelh perawat
yang berada diruang pulih dan harus berpengalaman. Jika diduga pasien mempunyai
resiko, monitor dilakukan secara terus menerus
dengan pulse oksimeter dan hal ini biasanya dijadikan standar perawatan.
Setelah pasien boleh keluar dari ruang pulih, 24 jam
pertama harus diberikan oksigen, tetapi jika pasien mempunyai resiko
hipoksemia, hendaknya diberikan oksigen selama 3 – 4 nhari serta dilakukan
monitor penggunaan oksigen, pemeriksaan analisa gas darah, atau dilakukan monitor
dengan pulse oksimeter. Jika terjadi hipoksemia yang menetap dilakukan terapi
oksigen. Pemberian terapi oksigen yang tebaik, adalah melalui sungkup muka 4
liter/menit. Pengiriman
pasien, selama berada di ruang pulih, bisa lewat kanula hidung 3 – 4
liter/menit, dengan konsentrasi oksigen < 50% tetapi cara ini tidak stabil.
Jika penggunaan oksigen lama, konsentrasi sebaiknya < 50% dan hal ini masih
dapat diadaptasi tanpa menimbulkan efek yang erius, asalkan oksigen yang dihisap
tetap steril.
Pemberian oksigen > 30% tidak diperlukan, sebab bisa
memnimbulkan gangguan filtrasi udara pada hidung sehingga bisa terjhadi
atelektasis, dan terjadi penurunan hipoksik paru karena vasokontriksi vena
paru. Konsentrasi oksigen yang tinggi diperlukan apabila terjadi hipksemia,
tetapi perlu juga dipertimbangkan karena efek pemebrian oksigen dengan
konsentrasi tinggi dapat dterjadi pulmonary shunt.
Tetapi jika terjadi keadaan yang membahayakan pada pasien,
terapi oksigen harus diberikan
terus menerus sebagai tambahan.
Perbaikan
hypoventilasi
Paska bedah pernapasan harus dijamin adequate dan
spontan, serta hipoksemia harus dihindarkan. Penyebab lain dari hipoksemia,
bisa secara sentral atau diebabkan oleh pelemas otot dan hal ini harus
ditanggulangi. Neostigmin tidak perlu diebrikan jika pernapasan sudah mulai
spontan.
Ventilasi mekanik harus diberikan jika efek pelemas otot
masih ada, tetapi jika terjadi potensiasi oleh penyebab lainnya, maka hal
tersebut harus diperbaiki sebelum memberikan obat.
Meningkatkan
volume paru
Tujuan penatalaksanaan hipoksemia paska bedah adalah
untuk meingkatkan FRC dan mencegah atelektasis. Fisioterapi pernapasan paska
bedah untuk mengembangkan ekmampuan fungsi paru. Prosedur sederhana yang dapat
digunakan jika pasien sudah baik, dilakukan perubahan posisi berbaring ke
posisi duduk dengna tujuan mengembangkan volume paru dan PaO2. Jika terjadi hipoksemia karena kontriksi bronchus
hendaknya diebrikan obat teofilin seacara IV.
Berbagaimacam cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan fungsi paru seperti : Intermittrnt Positive Pressure Breathing
(IPPB) dengan sungkup muka, penggunaan spirometry, fisioterapi pernapasan dan
Continue Positive Air Way Pressure (CPAP).
Spiratory umumnya digunakan utnuk mengukur kemampuan
inpirasi dan ekpirasi, dan akhir-akhir ini spirometry dan IPPB di Amerika
sering digunakan tanpa menimbulkan keadaan yang banyak membahayakan dalam
pelaksanaannya. Tujuan penggunaan spirometry dan IPPB adalah utnuk memperbaiki
keadan hipoksemia. Tetapi penggunaaan alat tersebut keadaan yang lebih buruk.
Penggunaan CPAP dsan sungkup muka dapat meningkatkan FRC, tetapi hal tersebut
pada pasien dengan kondisi lemah cenderung terjadi komplikasi dan teknik
penggunaannya harus dilakukan oleh oran gyang berpengalaman dan pelaksanaannya
pada pasien yang sudah bangun dan kooperatif, serta tidak dianjurkan pada pasien
fase awal paska bedah.
Oksigen Delivery
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa rendahnya oksigen yang
diberikan akan menurunkan PaO2. Pada paska bedah penurunan CO2
karena hipovolemia, aritmia jantung, depresi jantung dan peningkatan tahanan
perifer, semua itu harus diperhatikan dan diperbaiki sesuai penyebabnya dan
juga penatalaksanaan pada pasien yang menggigil, penurunan kesadaran dan
penyebab lainnya jika terjadi peningkatan kebutuhan oksigen.
related article
TINDAKAN KEPERAWATAN : INTUBASI TRAKHEA
TINDAKAN KEPERAWATAN PENGUKURAN CVP
ASKEP KLIEN DENGAN CVC
HIPOKSEMIA PASCA BEDAH
TINDAKAN KEPERAWATAN SUCTIONING TRAKHEA
EKSTUBASI PASCA BEDAH
KEPERAWATAN KRITIS : PENILAIAN NYERI SECARA NONVERBAL
related article
TINDAKAN KEPERAWATAN : INTUBASI TRAKHEA
TINDAKAN KEPERAWATAN PENGUKURAN CVP
ASKEP KLIEN DENGAN CVC
HIPOKSEMIA PASCA BEDAH
TINDAKAN KEPERAWATAN SUCTIONING TRAKHEA
EKSTUBASI PASCA BEDAH
KEPERAWATAN KRITIS : PENILAIAN NYERI SECARA NONVERBAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar